Setiap gue
nonton film yang diangkat dari buku (dan kebetulan gue belum pernah baca
bukunya), gue seperti punya kewajiban tersendiri untuk ngebaca buku tersebut.
Kenapa? Karena gue selalu pengen tau cerita asli dari sudut pandang pengarangnya,
bukan cerita yang sudah diadaptasi dan diolah sedemikian rupa untuk memenuhi batasan durasi tertentu.
Hal yang
sama terjadi setelah gue nonton film Kambing Jantan yang menurut gue
lucu-lucu-bego gimana gitu. Gue merasa, gue harus beli bukunya! Dan gue nggak
nyesel dengan kebiasaan gue itu karena bener aja, bukunya lebih lucu-bego-bego gimana
gitu. (Iya, ternyata lebih banyak begonya.) Setelah itu gue mulai menjadi salah
satu follower Raditya Dika di Twitter dan, walaupun gue bukan penggemar
beratnya, gue akuin dia ‘lebih’ dari sekedar penulis komedi.
Sebagai
-bukan- penggemar beratnya, sudah dapat dipastikan gue nggak beli semua bukunya
Raditya Dika. Kadang euphoria dari penggemar (sangat)beratnya malah bikin gue
males sendiri sebelum beli. Buku Raditya Dika yang pernah gue baca adalah
Kambing Jantan, Babi Ngesot, Manusia Setengah Salmon dan yang terakhir Koala
Kumal ini. Dari keempat buku tersebut, gue paling suka Kambing Jantan dan
Manusia Setengah Salmon. Gue suka Kambing Jantan karena menurut gue ceritanya
emang lucu banget- bukan seperti orang dewasa yang berusaha menyampaikan cerita
lucu. Kalau untuk Manusia Setengah Salmon, gue suka gimana Raditya Dika menggambarkan
seseorang yang berpindah hati meninggalkan ‘kenangan’ masa lalunya.
Di buku
Koala Kumal ini, Raditya Dika berbicara tentang patah hati. Bab yang menurut gue
paling lucu didalam buku ini adalah ‘Lebih Seram dari Jurit Malam’. Diantara
sekian banyak bab, cuma di bab ini gue bisa inget lagi sama kelucuan yang ada
di buku Kambing Jantan. (terlihat jelas gue belum bisa move on). Sementara bab yang paling ‘dalem’ maknanya menurut gue di
bab ‘Aku Ketemu Orang Lain’. Di bab ini ceritanya Dika diselingkuhin (sungguh
sudut pandang yang sangat buruk dalam merangkum suatu cerita). Bagian yang
paling gue suka justru bukan saat Dika diselingkuhin atau saat mantan pacarnya
ternyata nikah dengan selingkuhannya itu, tapi justru sebelum Dika berangkat
untuk kuliah ke Adelaide.
Sabuk pengaman yang pacar gue butuhkan adalah kepercayaan gue. Kepercayaan pada dia, pada kami berdua. Omongan sederhana; ‘Aku yakin bisa ngelewatin ini berdua sama kamu.’
Entah
karena cerita-cerita dibuku ini berkisah tentang patah hati atau karena gue bukan
pembaca setia buku-buku Raditya Dika, tapi menurut gue cara berceritanya
sekarang cukup berubah. Pengaruh umur? Mungkin. Bukan, bukan tua, tapi dewasa.
Menurut gue Raditya Dika lebih berusaha untuk menggabungkan dua sudut pandang
yang berbeda dibuku ini; komedi dan nggak-serius-banget-tapi-maunya-sih-maknanya-dalem.
Beda banget dengan buku Kambing Jantan yang bikin gue ketawa nggak
berhenti-henti, selama baca buku ini yang ada dipikiran gue justru ‘ini
seharusnya lucu atau enggak ya!?’.Mungkin memang gue yang nggak terlalu ngikutin
karya-karyanya Raditya Dika, atau mungkin juga memang sudut pandangnya sudah
lebih berbeda sekarang. (jen g-jeng-jeng-jeng!!!)
Satu
hal yang gue sayangkan adalah kesalahan penulisan dihalaman 66 pada bab ‘Balada
Lelaki Tomboi’.
’Kamu nggak usah sempet-sempetnya bercanda, deh.’ Astra menghela napas panjang. ‘Maaf, ya, kita sampai di sini saja.’
Dengan cara semudah itu, gue pun putus dengan Astra.
Kata-kata
Astra diatas seharusnya diganti dengan Deska. Kenapa? Karena Astra itu adalah
cowok yang menggantikan posisi Dika dihati Deska. Kalau Dika bilang dia putus
dengan Astra, berarti… berarti… oh!
Cerita-cerita
yang ditawarkan oleh Raditya Dika memang tetap ringan dan akrab dengan
kehidupan sehari-hari. Menurut gue hal ini merupakan salah satu kelebihan
Raditya Dika, dimana dia bisa banget milih topik yang mewakili suara hati abege-abege
galau masa kini. Bab terakhir dalam buku ini, ‘Koala Kumal’, seolah-olah
membenarkan pandangan gue mengenai cara penulisan Raditya Dika yang sedikit
berubah. Masalah perubahan itu kearah yang lebih baik atau lebih buruk menurut gue
itu kembali lagi ke persepsi pembaca, tapi perubahan yang gue rasain ternyata
tepat digambarkan di akhir dari buku Koala Kumal, ‘Dewasa’.
Rate:
7.5/10
No comments:
Post a Comment