April 13, 2015

Review: Koala Kumal by Raditya Dika



Setiap gue nonton film yang diangkat dari buku (dan kebetulan gue belum pernah baca bukunya), gue seperti punya kewajiban tersendiri untuk ngebaca buku tersebut. Kenapa? Karena gue selalu pengen tau cerita asli dari sudut pandang pengarangnya, bukan cerita yang sudah diadaptasi dan diolah sedemikian rupa untuk memenuhi batasan durasi tertentu.

Hal yang sama terjadi setelah gue nonton film Kambing Jantan yang menurut gue lucu-lucu-bego gimana gitu. Gue merasa, gue harus beli bukunya! Dan gue nggak nyesel dengan kebiasaan gue itu karena bener aja, bukunya lebih lucu-bego-bego gimana gitu. (Iya, ternyata lebih banyak begonya.) Setelah itu gue mulai menjadi salah satu follower Raditya Dika di Twitter dan, walaupun gue bukan penggemar beratnya, gue akuin dia ‘lebih’ dari sekedar penulis komedi.

Sebagai -bukan- penggemar beratnya, sudah dapat dipastikan gue nggak beli semua bukunya Raditya Dika. Kadang euphoria dari penggemar (sangat)beratnya malah bikin gue males sendiri sebelum beli. Buku Raditya Dika yang pernah gue baca adalah Kambing Jantan, Babi Ngesot, Manusia Setengah Salmon dan yang terakhir Koala Kumal ini. Dari keempat buku tersebut, gue paling suka Kambing Jantan dan Manusia Setengah Salmon. Gue suka Kambing Jantan karena menurut gue ceritanya emang lucu banget- bukan seperti orang dewasa yang berusaha menyampaikan cerita lucu. Kalau untuk Manusia Setengah Salmon, gue suka gimana Raditya Dika menggambarkan seseorang yang berpindah hati meninggalkan ‘kenangan’ masa lalunya.

Di buku Koala Kumal ini, Raditya Dika berbicara tentang patah hati. Bab yang menurut gue paling lucu didalam buku ini adalah ‘Lebih Seram dari Jurit Malam’. Diantara sekian banyak bab, cuma di bab ini gue bisa inget lagi sama kelucuan yang ada di buku Kambing Jantan. (terlihat jelas gue belum bisa move on). Sementara bab yang paling ‘dalem’ maknanya menurut gue di bab ‘Aku Ketemu Orang Lain’. Di bab ini ceritanya Dika diselingkuhin (sungguh sudut pandang yang sangat buruk dalam merangkum suatu cerita). Bagian yang paling gue suka justru bukan saat Dika diselingkuhin atau saat mantan pacarnya ternyata nikah dengan selingkuhannya itu, tapi justru sebelum Dika berangkat untuk kuliah ke Adelaide.

Sabuk pengaman yang pacar gue butuhkan adalah kepercayaan gue. Kepercayaan pada dia, pada kami berdua. Omongan sederhana; ‘Aku yakin bisa ngelewatin ini berdua sama kamu.’

Entah karena cerita-cerita dibuku ini berkisah tentang patah hati atau karena gue bukan pembaca setia buku-buku Raditya Dika, tapi menurut gue cara berceritanya sekarang cukup berubah. Pengaruh umur? Mungkin. Bukan, bukan tua, tapi dewasa. Menurut gue Raditya Dika lebih berusaha untuk menggabungkan dua sudut pandang yang berbeda dibuku ini; komedi dan nggak-serius-banget-tapi-maunya-sih-maknanya-dalem. Beda banget dengan buku Kambing Jantan yang bikin gue ketawa nggak berhenti-henti, selama baca buku ini yang ada dipikiran gue justru ‘ini seharusnya lucu atau enggak ya!?’.Mungkin memang gue yang nggak terlalu ngikutin karya-karyanya Raditya Dika, atau mungkin juga memang sudut pandangnya sudah lebih berbeda sekarang. (jeng-jeng-jeng-jeng!!!)

Satu hal yang gue sayangkan adalah kesalahan penulisan dihalaman 66 pada bab ‘Balada Lelaki Tomboi’.

’Kamu nggak usah sempet-sempetnya bercanda, deh.’ Astra menghela napas panjang. ‘Maaf, ya, kita sampai di sini saja.’ 
Dengan cara semudah itu, gue pun putus dengan Astra.

Kata-kata Astra diatas seharusnya diganti dengan Deska. Kenapa? Karena Astra itu adalah cowok yang menggantikan posisi Dika dihati Deska. Kalau Dika bilang dia putus dengan Astra, berarti… berarti… oh!

Cerita-cerita yang ditawarkan oleh Raditya Dika memang tetap ringan dan akrab dengan kehidupan sehari-hari. Menurut gue hal ini merupakan salah satu kelebihan Raditya Dika, dimana dia bisa banget milih topik yang mewakili suara hati abege-abege galau masa kini. Bab terakhir dalam buku ini, ‘Koala Kumal’, seolah-olah membenarkan pandangan gue mengenai cara penulisan Raditya Dika yang sedikit berubah. Masalah perubahan itu kearah yang lebih baik atau lebih buruk menurut gue itu kembali lagi ke persepsi pembaca, tapi perubahan yang gue rasain ternyata tepat digambarkan di akhir dari buku Koala Kumal, ‘Dewasa’.


Rate: 7.5/10

No comments:

Post a Comment